Pages

Freedom of Religion or Believe – Anak dan Kebebasannya dalam Beragama

Wednesday, July 22, 2020


Mungkin masih terkenang di ingatan kita ungkapan “agama adalah warisan” yang sempat populer tiga tahun silam. Ya, saya tahu bahwa sang pencetus ungkapan yang kemudian viral itu lantas diketahui melakukan plagiarisme atas salah satu tulisannya.[1] Terlepas dari problematika itu tidak bisa dipungkiri bahwa pada saat ungkapan itu diceletukkan dan disebarluaskan, banyak dari masyarakat kita yang entah sadar atau tidak sadar merenungi makna ungkapan tersebut menurut apa yang diyakini hati dan pikiran masing-masing.

Agama sebagai warisan (inherited belief/inherited religion) sebenarnya bukan topik yang baru-baru saja muncul lalu menjadi bahan diskusi dan perenungan banyak orang. Sejumlah studi telah dilakukan untuk meneliti subjek ini dan salah satunya menyimpulkan bahwa pengaruh orang tua sangat penting dalam perkembangan religiusitas keturunannya[2]yang membuktikan bahwa anggapan mengenai inherited belief tidaklah salah.

Sebelum saya melanjutkan tulisan ini, saya ingin menegaskan bahwa artikel ini saya tulis tanpa bias pada satu agama atau keyakinan mana pun. Yang akan saya tekankan disini adalah hak individu untuk memeluk suatu kepercayaan yang ia yakini dan poin mengenai inherited belief disinggung untuk menuntun mind musing saya pribadi menuju ke pertanyaan dan kesimpulan yang mengusik benak dan pikiran. Sungguh, tidak ada maksud ofensif terhadap siapa pun yang tidak setuju pada konsep inherited belief.


Tentang Kebebasan Beragama

Kebebasan beragama secara mudah bisa diartikan sebagai kebebasan manusia untuk memeluk kepercayaan tertentu. Hal ini adalah salah satu dari sejumlah hak-hak asasi manusia yang secara universal diakui.

Dalam Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik, Artikel 18 mencantumkan secara spesifik mengenai pengakuan terhadap Freedom of Religion or Belief (FoRB).[3] Otto Gusti melihat kebebasan beragama dapat dipandang dari dua sisi. Namun bila mau menilik dari sisi positif, kebebasan ini mengandung arti bahwa setiap orang berhak memilih agama atau kepercayaan yang mereka yakini. Sehingga praktis bahwa manusia juga memiliki pilihan untuk tidak beragama. [4]

Konstitusi nasional menjamin hak ini dalam Pasal 28E ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945). Dalam ayat (1) terkutip bahwa:
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Beberapa pasal lain seperti Pasal 28I dan Pasal 29 UUD 1945 juga turut menegaskan bahwa negara menjamin kebebasan beragama setiap Warga Negara Indonesia.[5] Walaupun dalam pelaksanaannya pengakuan ini terbatas pada agama dan keyakinan tertentu sehingga sebenarnya menimbulkan konsekuensi lain, secara umum Indonesia sudah sejalan dengan konsep universal mengenai FoRB.


Dilema Kepercayaan Orang Tua vs Kepercayaan Anak

Sering kali saya menemui tulisan yang mengulas perkawinan beda agamaentah dilihat dari sisi hak asasi manusia, hukum, psikologi, religi, atau sudut pandang lain. Cukup banyak saya menemui tulisan yang membahas bagaimana perbedaan agama antara ayah dan ibu berdampak pada cara asuh mereka terhadap anak yang tentu saja memiliki sisi positif dan negatif. Lalu saya berusaha mencari tulisan kawan-kawan sepantaran usia terkait perjalanan spiritual mereka yang berujung pada perbedaan kepercayaan dengan orang tua, tetapi sayang sekali saya masih belum menemukan tulisan yang cukup relatable.

Jujur saja, saya menulis artikel ini di pojok sepi kedai kopi favorit saya setelah penolakan jujur yang saya sampaikan kepada orang tua. Penolakan ini sebenarnya adalah penolakan saya yang kesekian kali. Tetapi penolakan saya yang sebelumnya tidak pernah sebegitu frontal dan berujung pada percekcokan. Orang tua saya sangat kecewa sehingga berucap bahwa jika saya tidak mau memeluk identitas agama yang sudah ditanamkan kepada saya sejak lahir, mungkin lebih baik apabila saya tidak diakui sebagai anak beliau.

Ditemani secangkir es kopi dingin yang menyejukkan tenggorakan, saya berusaha meredakan kekalutan hati yang membuat perasaan negatif bercampur-aduk. Saya menulis untuk mengobati hati dan menjernihkan isi kepala saya yang sedang buram.

Lantas saya bertanya-tanya. Jika memang individu memiliki kebebasan beragama, mengapa dalam kasus sayadan saya yakin banyak teman-teman lainnya yang menghadapi dilema yang samakebebasan ini seakan-akan tidak berlaku? Sejauh mana pengaruh orang tua dalam kebebasan beragama anak diperbolehkan?


Kebebasan Beragama Juga Merupakan Hak bagi Anak

“States Parties shall respect the right of the child to freedom of thought, conscience and religion.” — Convention of The Right of The Child Art. 14(1).
Sama seperti orang dewasadalam konteks ini orang tua, anak-anak juga memiliki hak yang sama terkait dengan keyakinan yang mereka yakini. Isu FoBR dalam konteks anak sebenarnya merupakan hal yang sangat penting mengingat pengalaman yang anak-anak hadapi terkait pengakuan hak mereka jelas berbeda dengan pengalaman orang dewasa. Anak-anak memiliki kapasitas kemampuan berpikir yang berbeda sehingga mengakibatkan orang tua memiliki hak dan kewajiban untuk membina perjalanan spiritual anak seiring dengan pertumbuhan usia mereka.[6]

Konvensi Hak Anak pada Artikel 12 menyuratkan bahwa ketika anak-anak sudah memiliki kemampuan untuk membentuk opini akan satu hal yang berkaitan dengan haknya sebagai individu, opini anak idealnya juga harus dipertimbangkan dalam hal pengambilan keputusan yang menyangkut pribadi sang anaktentu saja dengan mempertimbangkan usia dan tingkat kedewasaan anak tersebut.[7] Teorinya sudah pasti bahwa orang tua hanya ingin yang terbaik bagi buah hati mereka. Tetapi di sisi lain, terkadang pendapat anak sering kali dianggap sebelah mata oleh orang tua yang kemungkinan terburuknya bisa terus berlanjut sampai anak beranjak ke usia dewasa.

Kembali ke keluh kesah saya, tidak akan ada yang meragukan bahwa secara hukum saya jelas-jelas sudah dewasa dan tidak bisa dikategorikan ke dalam usia anak. Bayangkan saja dengan usia yang sudah seperempat abad, sepertinya aneh melihat saya bersitegang dengan orang tua hanya karena masalah hak asasi manusia paling mendasar yang bernama agama. Mirisnya hanya sahabat saya yang bisa saya ajak bertukar pikiran mengenai pergumulan spiritual ini. Apabila saya bercerita kepada orang lainapalagi yang memiliki keyakinan yang sama dengan orang tuasaya bisa dicap sebagai seorang pendosa lalu mendapatkan komentar pedas.
“Kamu sabar saja. Orang tuamu sudah bertambah tua. Apa salahnya mengikuti kemauan orang tuamu?”
“Kamu yakin sudah benar-benar paham apa yang diajarkan agamamu? Kalau kamu memang benar-benar paham, seharusnya tidak tebersit keinginan untuk berpindah keyakinan.”
Demikian kira-kira komentar yang pernah saya dapatkan. Jelas-jelas bukan tanggapan yang membuat saya merasa lega atau terbantu. Apalagi keputusan saya bukan sekedar keputusan yang saya ambil dengan asal saja. Keputusan saya diambil melalui proses perjalanan spiritual bertahun-tahun yang penuh dengan konflik batin dan refleksi diri. Sebelum pada akhirnya saya menemukan identitas spiritual yang menjadikan hidup saya lebih berbahagia dan penuh rasa syukur.

Tetapi di balik kekecewaan saya, secara rasional saya dapat memahami bahwa dari sekian banyak nilai positif yang dapat kita petik dari agama, apabila penganutnya menempatkan agama sebagai kebenaran yang paling absolut maka akan sangat mungkin bagi si penganut untuk menutup diri pada kemungkinan bahwa ia atau orang-orang terdekatnya bisa menemukan jalan kebenaran melalui keyakinan lain. Bagi orang tua yang fanatik terhadap doktrin agamanya, melihat buah hati mereka menolak kepercayaan yang sudah mereka tanamkan sejak kecil adalah mimpi buruk. Orang tua mungkin ketakutan apabila anak mereka mengalami siksa neraka setelah ajal menjemput.

Saya pun tidak ingin berargumen lebih panjang untuk menjelaskan mengapa saya mengambil keputusan tersebut. Selama kompas hidup yang manusia pilih mampu menuntun individu menjadi pribadi yang lebih baik, saya rasa tidak seharusnya masalah keyakinan menjadi hal yang diperdebatkan. Perjalanan hidup saya juga masih panjang sehingga saya tidak bisa menjamin bahwa saya sudah menutup pintu terhadap kemungkinan untuk menerima doktrin keyakinan lainnya. Yang saya inginkan hanya keterbukaan agar pilihan saya bisa dihargai sehingga saya tidak dipaksa mengikuti serentetan ritual keagamaan yang sudah tidak sesuai dengan nurani.

Saya sudah menyampaikan pandangan saya. Realitanya saya tidak bisa berekspektasi bahwa setiap orang dapat menerima keyakinan yang saya pilihtermasuk orang tua saya.

Hati dan pikiran orang tua bukan menjadi sesuatu yang bisa saya kontrol, sama seperti orang tua yang tidak bisa membuat saya ikhlas menerima keyakinan yang beliau turunkan. Baik saya pribadi maupun orang tua sama-sama terluka karena tidak bisa mencapai kata sepakat. Apabila kedua belah pihak sama-sama mengeraskan hati, hubungan kami kemungkinan besar hanya akan berakhir menjadi lebih buruk.

Meski sayaatau siapa pun yang membaca tulisan ini dan mengalami dilema yang samamasih belum menemukan titik temu perbedaan pandangan hidup dengan orang tua, biarlah ini menjadi pelajaran agar kita dapat lebih menghargai kebebasan beragama yang dimiliki setiap individu, termasuk anak anda.

Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 menegaskan agar setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain, termasuk di dalamnya kebebasan memeluk agama. Lewat pengalaman ini, saya belajar bahwa saya tidak bisa menyebut diri sendiri sebagai pribadi yang menjunjung tinggi toleransi beragama apabila saya tidak bisa menerapkan penghargaan tersebut terhadap orang tua, kakak-adik, sanak saudara, termasuk calon pasangan hidup dan calon buah hati di masa depan.

Jadi bagaimana? Setelah menulis panjang lebar, apakah kesimpulan akhir saya berujung pada pasrah?

Jawaban saya iya.

Dalam artian saya pasrah menerima kenyataan bahwa orang tua saya mungkin tidak akan pernah mengakui keyakinan saya. Tetapi sebagai individu, hati dan pikiran saya tetap menjadi milik saya. Tidak akan berpaling dari apa yang saya yakini apabila memang jiwa yang paling dalam tidak tersentuh.

Saya akan mengutip kata-kata bijak dari Marcus Aurelius untuk mengakhiri tulisan ini.
“You have power over your mind - not outside events. Realize this, and you will find strength.” — Marcus Aurelius, Meditations.
Mungkin saya tidak bisa membuat orang tua berhenti memaksa saya menjalani ritual keagamaannya. Tetapi saya memutuskan untuk menghargai perbedaan pandangan yang ada dan menjadi pribadi yang lebih sabar dan lapang dada tanpa harus menutup buku catatan perjalanan spritual saya.