Membicarakan profesi kerja
sebagai HR/HRD/Personalia menimbulkan pemikiran tertentu di kepala banyak
orang. Mungkin ada yang beranggapan bahwa posisi ini kerjanya santai. Atau
stigma paling umum di kalangan mayoritas karyawan bahwa siapa pun di posisi HR
adalah manusia yang paling tidak disukai seantero kantor. Apapun anggapan
kalian soal profesi HR, kali ini saya akan berbagi pengalaman setelah
menghabiskan waktu 3,5 tahun berkecimpung di dunia HR.
HR adalah pekerjaan pertama saya.
Saya hanya seorang fresh graduate
Sarjana Hukum sebelum kakak angkatan menawari pekerjaan sebagai Staff HR di
perusahaannya. Waktu itu saya berpikir untuk mengambil pekerjaan apapun yang
bisa segera membebaskan saya dari rumah orang tua dengan alasan ingin segera
mandiri. Di samping itu, saya tidak terlalu pilih-pilih untuk karier apa yang
akan saya jalani selama tidak melenceng terlalu jauh dari bidang keilmuan.
Setelah melalui proses interview
yang cenderung singkat, pada bulan September tahun 2016 saya resmi diterima sebagai HR.
Perlu diketahui bahwa meskipun
perusahaan tempat saya bekerja berada di wilayah Jabodetabek, perusahaan kami
adalah perusahaan manufaktur sehingga jauh-jauhkan imajinasi kalian dari
perusahaan elite yang beroperasi di gedung pencakar langit di pusat ibu kota.
Kantor saya berada tepat di pabrik sehingga setiap Senin sampai Sabtu saya
bertemu dengan karyawan produksi dan staff. Kondisi pabrik cenderung kotor
karena bahan utama produksi adalah kawat dan oli. Belum lagi suara bising yang
ditimbulkan oleh mesin berat. Masker harus selalu dikenakan ketika turun ke
lapangan mengingat kondisi udara yang kotor oleh gram besi.
3 bulan awal bekerja, saya
benar-benar cukup buta dengan ritme pekerjaan kantor. Meskipun dulu saya
merupakan mahasiswa aktif dengan prestasi akademik yang baik, semua ilmu yang
saya dapatkan dalam kelas ataupun organisasi seakan menguap begitu saja. Saya
harus belajar lagi dan menyesuaikan diri dengan dunia kerja. Selayaknya anak
baru pada umumnya, saya tahu baik pimpinan maupun rekan kerja masih meragukan
kompentensi saya. Belum lagi karyawan produksi yang menganggap remeh,
menyepelekan, kadang-kadang berbohong supaya mereka tidak kena sanksi. Padahal
penting sekali bagi HR untuk memiliki wibawa tersendiri mengingat perannya
dalam penegakan disiplin kerja.
Menurut saya pribadi, tahun
pertama terkhususnya 3 bulan pertama dalam bekerja merupakan periode paling
krusial—terutama bagi fresh graduate. Di periode ini kalian akan sangat diuji
ketahanan mentalnya sehingga pastikan untuk sebisa mungkin tanggap dan pro-aktif.
Ada saat-saat dimana saya merasa minder bahkan merasa tidak berguna, seakan-akan
apa yang saya lakukan selalu kurang atau salah di mata pimpinan dan rekan
kerja. Tetapi saya yakin saya tidak sendirian merasakan itu sehingga saya
kesampingkan perasaan negatif dengan lebih banyak bersyukur dan bekerja lebih
baik.
Singkat cerita, 3,5 tahun telah
berlalu. Saya menjadi terbiasa sembari saya belajar banyak hal—apalagi dengan
tuntutan pekerjaan yang mengharuskan saya untuk dipindahkan dari satu pabrik ke
pabrik lain. Saya telah membaur dengan staff dan karyawan produksi sudah tidak
berani menyepelekan saya.
Sebagai HR di industri manufaktur
golongan menengah, kami tidak dikhususkan untuk menangani bidang tertentu
seperti rekruitmen, compensation and benefits, compliance atau industrial
relations saja. Kami tidak mengenal sub-divisi. Tim HR di perusahaan kami yang
terdiri dari 4 orang dituntut untuk bisa mengerjakan semuanya, bahkan
mengerjakan pekerjaan lintas PT mengingat perusahaan tersebut statusnya di bawah group milik keluarga (total ada 7 PT). Kadang-kadang saya membantu SPV menyiapkan
dokumen perizinan dan urusan legal. Belum lagi pekerjaan-pekerjaan harian lain
yang sebenernya tidak termasuk ranah HR.
Bagi para fresh graduate yang
membaca tulisan saya ini mungkin akan merasa khawatir atau bingung, tetapi
perlu diingat bahwa faktanya bukan hanya HR saja melainkan banyak posisi yang
menuntut karyawan mengerjakan hal-hal di luar jobdesc atau memilih efisiensi sehingga
pekerjaaan yang mestinya dikerjakan beberapa orang hanya dikerjakan 1 orang
saja.
Dalam menangani karyawan produksi
juga diperlukan ketegasan dan kesabaran ekstra mengingat 90% dari karyawan
produksi kami tidak sekolah atau hanya tamat SD dan SMP. Hal yang paling sering
saya jumpai adalah target produksi yang tidak tercapai namun tuntutan mereka
banyak dan kadang tidak masuk akal. Beberapa dari mereka juga sering kali tidak
mau dikenakan sanksi sesuai prosedur yang berlaku meskipun terbukti melakukan
pelanggaran.
Oh ya, karyawan bisa lebih galak
daripada HR sehingga pastikan untuk tetap tenang dan jangan ikut terpancing
emosi, oke?
Belum lagi menghadapi para staff
dan drama-drama kantor yang ikut mewarnai keseharian kerja yang apabila
dibiarkan saja tentunya akan berdampak pada mood dan mempengaruhi hasil kerja.
Untuk urusan eksternal, saya juga
belajar bahwa urusan tripartit tidak seenteng yang saya pelajari semasa
mengambil kelas Hukum Ketenagakerjaan. Urusan ini bisa dibilang cenderung
sensitif karena berkaitan dengan kocek perusahaan sehingga saya rasa mungkin
tidak perlu dibahas lebih lanjut dalam postingan kali ini. Intinya, menjadi HR membekali
saya dengan sedikit ilmu bernegosiasi dan berpolitik hehe.
Secara kepribadian, saya dibentuk
untuk menjadi pribadi yang lebih berani untuk menyuarakan pikiran saya,
sekaligus melatih kemampuan berkomunikasi dengan macam-macam tipe SDM. Jujur saja,
sebagai seorang introvert komunikasi adalah hal yang bukan merupakan keahlian
saya. Saya tidak suka banyak bicara dan tidak suka konflik. Nyatanya pekerjaan
saya benar-benar melemparkan saya jauh dari zona nyaman. Rasa tidak tegaan dan
tidak enakan juga harus saya singkirkan jauh-jauh yang membuat Tim HR sering
dicap sebagai kelompok menyebalkan. Ada juga beberapa praktik di lapangan yang bertentangan
dengan apa yang saya yakini benar.
Meskipun posisi HR ada sebagai
jembatan penghubung antara kepentingan perusahaan dan kepentingan karyawan,
sering kali saya terjebak dalam posisi yang tidak menyenangkan. HR rawan untuk
disalahkan manajemen, tapi di satu sisi sering dihujat oleh karyawan. Meski demikian,
pahit manisnya pengalaman menjadi HR saya syukuri saja toh pengalaman tersebut membentuk
saya menjadi pribadi yang lebih tangguh.
Alasan mengapa saya mengundurkan
diri sebenarnya adalah alasan klasik alias untuk mencari pengalaman baru. Entah
itu melanjutkan studi S2 atau mungkin mencari pekerjaan lain mengingat situasi COVID-19
saat postingan ini ditulis. Saya harus mengakui bahwa saya sangat jenuh dan
merasa di zona nyaman, dalam artian pekerjaan harian menjadi terasa monoton dan
menyebabkan saya pikir-pikir lagi perihal apakah benar menjadi HR adalah
panggilan hidup saya.
Sekian tulisan perdana saya untuk
blog ini. Karena postingan kali ini hanya berupa gambaran umum, apabila kalian
ingin tulisan lebih mendetail seputar HR silakan tinggalkan saja komentar
kalian.
See you all on my next post!